Mesjid di Aceh Ini Sudah Berusia 900 Tahun

Sepintas, masjid ini tak seperti bangunan berusia 900 tahun atau 9 abad. Pondasinya begitu kokoh, dinding kayu, dan besinya pun masih sama seperti pertama kali masjid ini dibangun pada tanggal 8 Agustus tahun 1351 Masehi.

Mesjid yang terletak di Kampung Pulo Kambing, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh ini dikenal dengan nama Masjid Tuo Pulo Kambing.

Sampai kini, warga setempat masih memanfaatkan masjid ini untuk salat dan mengaji. Pemrakarsa pembangunan masjid ini adalah seorang ulama bernama Syeh Muhammad Husen Al Fanjuri bin Muhammad Al Fajri Kautsar, murid seorang ulama sufi asal Persia.

Mesjid di Aceh Ini Sudah Berusia 900 Tahun

Keunikan masjid ini terlihat dari 4 tiang dengan ukiran kaligrafi yang mengisahkan riwayat kebesaran kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. 1 dari 4 tiang, ada 1 tiang yang kerap mengeluarkan air sehingga warga membuatkan sejenis tempat penampungan. Sebagian besar warga meyakini bahwa air itu mengandung keberkahan.

Terdiri dari 3 lantai, Masjid Tuo Pulo Kambing ini sempat menjadi tempat perlindungan saat musibah gempa dan tsunami melanda kawasan Aceh pada tahun 2004 lalu.

Di sekitar masjid, bangunan yang berusia lebih tua pun masih kokoh berdiri. Salah satunya adalah rumah keluarga kerajaan di era Kerajaan Aceh Darussalam. Masjid tua dan rumah tua di wilayah Kluet Utara ini tentu menjadi bagian sejarah kebesaran Islam di Aceh pada masa silam yang sudah sepatutnya dijaga generasi saat ini.

Sumber artikel : Sejarah Aceh
Read More

Mengenal Syeikh Abdurrauf Al-Jawi Al-Fansuri As-Singkili (Teungku Syiah Kuala)

Abdurrauf Al-Jawi Al-Fansuri As-Singkili (1615-1693 M). Pengaruhnya yang besar bagi penyebaran Islam tak hanya di Aceh dan seantero Nusantara, tapi juga di dunia Islam. Di Aceh sendiri ia memiliki gelar sebagai Teungku Syiah Kuala. Dalam bahasa Aceh artinya Syekh Ulama di Kuala.
Gelarnya itu kemudian diabadikan dalam nama perguruan tinggi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), di Banda Aceh. Bahkan di Aceh ada semacam peribahasa yang berbunyi:

“Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syiah Kuala (Adat bak Po Teuemeureuhom, syarak bak Syiah di Kuala)"

Dengan pengaruh yang besar itu mestinya masyarakat Aceh Singkil meneladani ajaran dan laku As-Singkili. Sepulang dari menimba ilmu di jazirah Arab, As-Singkili kembali ke Aceh di masa pemerintahan Sultanah (Ratu) Safiyatuddin Shah. Saat itu kondisi Aceh masih dalam kecamuk.
Tak hanya terjadi perseteruan terkait paham wujudiyah atau Kesatuan Wujud (Wahdatul Wujud) dengan tokoh utamanya Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani, tapi juga eksekusi terhadap para penganutnya.

Mengenal Syeikh Abdurrauf Al-Jawi Al-Fansuri As-Singkili (Teungku Syiah Kuala)

Hal ini bermula saat Nuruddin Ar-Raniri sebagai mufti Kesultanan Aceh mengeluarkan fatwa bahwa paham wujudiyah sesat dan mereka yang menolak untuk tobat dianggap kafir dan layak dihukum mati.

Saat As-Singkili menggantikan Ar-Raniri sebagai mufti, perseteruan ini masih tetap berlangsung. As-Singkili didaulaut Sultanah Safiyatuddin sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau mufti yang bertanggungjawab atas masalah-masalah keagamaan.

Berbeda dengan Ar-Raniri, As-Singkili berupaya mendamaikan dua paham dan kelompok yang berseteru. Dalam ajaran dan lakunya, As-Singkili tak bernada polemik seperti Ar-Raniri.
Kendati ada beberapa aspek yang tak ia setujui terkait wujudiyah maupun ajaran Ar-Raniri ia memilih menyampaikan pendapatnya secara tidak kasar apalagi menyerang dan melakukan kekerasan.

Saat mengkritik Ar-Raniri, misalnya, ia tak menyampaikannya secara terbuka. Tanpa menyebut nama al-Raniri, ia mengingatkan umat Islam dalam kitabnya Daqa’iq Al-Huruf agar tidak mudah mengutuk seseorang sebagai kafir.

Sebaliknya, bisa jadi tuduhan itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Ia pun menyitir sebuah hadis:

“Jangan menuduh orang lain menjalankan kehidupan penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak benar”

Alih-alih mengambil kebijakan radikal seperti Ar-Raniri, ajaran dan laku As-Singkili begitu toleran. Dengan cara ini ia membuka jalan bagi resolusi konflik antara mereka yang pro dan kontra paham wujudiyah yang sebelumnya meruncing di Aceh.

Baginya, beragama tak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi. Seperti dalam karyanya tentang fikih, Mir’at Al-Tullab, ia tak hanya memperbincangkan masalah ibadah, tapi juga muamalat. Ini berbeda dengan Sirat al-Mustaqim karya al-Raniri yang hanya membahas ibadah dalam kitab ini.

Dengan karya ini pula As-Singkili menjadi tokoh pertama di Nusantara yang menulis mengenai fikih muamalat. As-Singkili juga dikenal sebagai penulis kitab tafsir Al-Quran pertama berbahasa Melayu yang terlengkap di Nusantara yang berjudul Tarjuman Al-Mustafid.
Apa saja warisan penting As-Singkili yang bisa dipetik masyarakat Aceh dan umat Islam pada umumnya? Bagaimana cara As-Singkili membangun kerukunan umat beragama di Kesultanan Aceh?

Berikut wawancara Achmad Rifki dari Madina Online dengan Guru Besar Tasawuf Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof. Dr. Asep Usman Ismail:

P : Adakah ajaran dan laku Abdurrauf As-Singkili terkait kerukunan umat beragama yang bisa menjadi pelajaran atau teladan bagi pemerintah juga masyarakat Aceh Singkil?

J : Abdurrauf Singkil adalah seorang sufi. Sejak dari awal beliau membangun sikap jalan tengah. Ketika terjadi perdebatan antara paham wujudiyah yang digagas oleh Hamzah Fansuri di satu pihak dengan Ar-Raniri pada sisi yang lain, Abdurrauf Singkil mengambil sikap di tengah. Sikap ini seharusnya bisa dikolaborasi bahwa pandangan tawasuf As-Singkili itu pandangan moderat (tawasuth) dan beliau mengambil sikap umat jalan tengah (ummatan wasathan). Untuk sekadar mengkafirkan saja As-Singkili tidak pernah melakukannya. Walaupun, misalnya, ada orang yang sudah sesat, As-Singkili tidak berani mengkafirkan. Padahal beliau seorang pejabat negara.

P : Selain seorang sufi, apa kedudukan atau jabatan As-Singkili saat itu?

J : Kedudukan beliau itu Mufti Kesultanan Aceh. Dalam kapasitasnya sebagai Mufti Kesultanan Aceh, beliau punya dua kewenangan jika diukur dengan konsep modern sekarang ini. Pertama, dia punya kewenangan untuk membuat undang-undang atau sebagai dewan fatwa. Kedua, dia punya kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang kalau sultan tidak melaksanakannya.
Jadi, jika dilihat dari konsep modern, dia punya kewenangan legislatif dan yudikatif sekaligus. Nah, dengan dua kekuasaan yang besar itu As-Singkili malah membangun sikap moderat. Menurut beliau, persoalan kufur dan iman itu tidak bisa dievaluasi oleh manusia.

P : Sebagai Mufti Kesultanan Aceh, kebijakan seperti apa yang As-Singkili terapkapkan waktu itu? Adakah hal-hal yang bisa diadopsi untuk pemerintah Aceh Singkil kini?

J : Sangat bisa!
Pertama, beliau menekankan sisi kekuatan integritas moral dan etika.
Kedua, kekuasaan yang besar itu tidak untuk memvonis seseorang salah dalam beragama.
Ketiga, As-Singkili sangat menekankan bahwa kerukunan itu menjadi kunci. Terutama waktu itu kerukunan di antara sesama Muslim yang menganut wujudiyah dan Muslim yang anti atau kontra dengan paham itu.

P : Konflik antara Hamzah Fansuri dengan Ar-Raniri itu sebenarnya konflik berbasis agama atau masalah kekuasaan?

J : Itu soal agama yang kemudian terkait dengan kekuasaan. Pada awalnya itu murni soal pemikiran dan paham agama. Tapi karena posisi Ar-Raniri sebagai pejabat agama, maka perbedaan pemikiran itu tidak hanya selesai di soal pendapat. Ar-Raniri kemudian memberikan fatwa dan meminta sultan untuk melaksanakannya. Fatwa itu berisi bahwa wujudiyah itu paham yang sesat. Kemudian setiap orang yang telah menganut paham wujudiyah diminta tobat. Apabila menolak untuk tobat, maka darahnya menjadi halal untuk dibunuh. Berikutnya, buku-buku terkait paham wujudiyah yang sudah ditulis tidak boleh disebarluaskan. Kalau terpaksa disebarluaskan, negara merampas dan membakarnya. Dan itu sudah dilakukan, baik eksekusi terhadap orang maupun buku. Itu dilakukan di halaman Masjid Baitul Rahman di Banda Aceh.

P : Begitu datang, As-Singkili justru menciptakan suasana yang damai di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini. Apa warisan penting dari As-Singkili?

J : As-Singkili itu orang yang pertama menulis tafsir di Indonesia.
Tafsirnya bersifat moderat yang sekarang menjadi acuan di Departemen Agama. Saya belum meneliti lebih detail, tapi tafsir As-Singkili ini diteliti oleh Prof. Salman Harun. Tafsir itu sangat menekankan Islam yang "ummatan wasathan".

Sumber artikel : Sejarah Aceh
Read More

Mengenal Teungku Di Anjong - Salah Satu Ulama Besar Kerajaan Aceh

Sejak tiga tahun terakhir Gampong Peulanggahan, Banda, Aceh banyak dikunjungi pengunjung yang datang dari Persia, Malaysia, Jakarta, atau Medan. Mereka berziarah ke sebuah makam yang terletak persis di samping masjid Teungku Di Anjong di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh.

Makam yang mereka ziarahi adalah makam seorang ulama yang berilmu tinggi dan kasyaf yang terkenal di Aceh dengan gelar Teungku Di Anjong. Khusus pengunjung dari Hadhramaut, para penziarah tersebut terdiri atas para ulama habaib yang masyhur seperti Habib Umar bin Hafidz dan Habib Kazim Assagaf dari pesantren Daarul Mustafa di Tarim, Habib Salim Assyathiri dan Habib Saleh bin Muhammad Alatas.

Sudah sejak lama memang makam ini sepi dari penziarah apalagi dari luar negeri. Namun, perhatian masyarakat kembali muncul pada 14 Ramadhan 1429 Hijrah (tahun 2008 M) sewaktu diadakannya kembali kenduri Teungku Di Anjong yang dilaksanakan oleh masyarakat Peulanggahan bersama Rabithah Alawiyah Provinsi Aceh.

Teungku Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 M. Penobatan nama Teungku Di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan ungkapan Teungku yang “dianjong” yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam versi lain juga dikatakan bahwa gelar Teungku Di Anjong diberikan karena ulama ini banyak menghabiskan ibadah dengan shalat, berzikir, shalawat dan membaca ratib di anjungan masjid yang bertingkat tiga.

Beliau dikenal sebagai ulama tasawuf, juga berperan sebagai ulama fikih dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam wilayah kesultanan Aceh, Sumatera, Pulau Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah haji melalui Aceh.

Peran Teungku Di Anjong dalam menyelamatkan kerajaan Aceh tertulis dalam naskah penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan Ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala (1987) yang mengemukakan tentang kejadian pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah.

Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit neraca pembayaran (utang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini sangat mencemaskan Sultan, karena menyangkut martabat kerajaan.
Konon kabarnya pula, meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun jumlahnya masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada kerajaan Inggris. Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap Teungku Di Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan ulama tersebut.

Mengetahui maksud kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan ini dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan beliau menyatakan bahwa hanyalah Teungku Di Anjong yang sanggup membantu Sultan. Teungku Di Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu tempat di pinggir Krueng Aceh. Semua goni diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai Cermen, Ulee Lheue.

Sedangkan hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan bahwa salah satu dari hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian, martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar utang tetap terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris.

Nama sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadhramaut, negeri Yaman. Kisahnya hingga kini masih diceritakan oleh para ulama habaib dari negeri asalnya Hadhramaut, seperti yang disebutkan para penziarah dari Yaman yang datang ke Peulanggahan. Manaqib tersebut menyebutkan bahwa kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung melalui Hadhramaut.

Beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama lainnya di Madinah. Ulama yang pertama adalah Sayyid Abdurrahman bin Musthafa Alaydrus yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang kedua ialah Sayyid Syeikh bin Muhammad Al-Jufri yang berjalan menuju Malabar, India.

Masjid Teungku Di Anjong
Untuk melestarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan masih tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sedia kala. Masjid dan makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada tahun 2009 dengan struktur beton, namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan tambahan sarana lainnya seperti halaman aspal dan tempat wudhuk.

Status tanah bangunan masjid ini adalah tanah wakaf seluas situs 4 Ha. Sebelum mendirikan masjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh Cut, atau rumah kecil) yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam di sana. Oleh karena perkembangannya semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung murid- muridnya.

Mengenal Teungku Di Anjong - Salah Satu Ulama Besar Kerajaan Aceh

Akhirnya beliau mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah, kepentingan pengajian, dan lain-lainnya. Mesjid Teungku Di Anjong selain berfungsi sebagai sarana tempat shalat dan kegiatan - kegiatan ibadah lainnya, pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia masjid ini pernah dijadikan markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah Belanda. Jadi masjid ini tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Kota Banda Aceh. (Makalah Drs. Husaini Ibrahim, MA, 2006).

Masjid Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat dengan sebutan dayah yang terdiri atas tiga lantai. Lantai pertama disebut dengan Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan lantai ketiga Makfirat. Dayah ini pernah dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin anti penjajahan (Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008).

Snouck Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers, juga menyaksikan bahwa makam Teungku Di Anjong menjadi tempat melakukan tradisi Peuleuh Kaoy atau bernazar, dan mencatatnya sebagai makam ulama yang paling dihormati di Aceh.

Di kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam asrama untuk menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya. Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu.

Sumber artikel : Sejarah Aceh
Read More

Pengakuan-Pengakuan Belanda Terhadap Pejuang-Pejuang Aceh

Tak sedikit dari kita yang terlalu salut dengan semangat perang pasukan Bushido Jepang, maupun pasukan berani mati dari negara lain. Kita sungguh telah melupakan sejarah, bahwa bangsa lain begitu mengagumi semangat kepahlawanan moyang kita.

Aceh dikenal dengan gengsi, ego dan menjaga martabatnya. Pantang terhina. Kehormatan lebih berharga dari nyawa. Ini yang membuat Belanda pusing menghadapi bangsa Aceh selama ratusan tahun sekaligus menyesal telah memulai perang dengan bangsa Aceh. Apa mau dikata, walaupun Belanda menyesal berperang dengan Aceh, perang itu harus tetap diteruskan untuk menutupi rasa malu mereka sebagai sebuah bangsa yang dikenal kuat di Eropa.

Perang yang dilancarkan Belanda di Aceh sejak dideklarasikan pada 26 Maret 1873, disebut-sebut sebagai perang terlama dan terbanyak menguras kantong Belanda untuk membiayai perang. Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah penulis Belanda sendiri.

Pengakuan-Pengakuan Belanda Terhadap Pejuang-Pejuang Aceh

Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang diterbitkan tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti Belanda. Beberapa diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam menghadapi invasi Belanda. Berikut petikannya.

Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis:

“Yang sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita”.

Pada halaman lain buku yang sama, Zentgraff menambahkan;

“Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain”

Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff menulis;

“Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang setinggi-tingginya?”

Penulis Belanda yang lain, A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis:

“Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara daya pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga dan berbaris secara teratur)”

Masih ada lagi komentar dari Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog (Perang Aceh) yang terbit tahun 1969. Buku ini adalah salah satu buku yang kerap menjadi rujukan ketika menulis Perang Belanda di Aceh. Pada halaman 293, Paul menulis:

“Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah peperangan Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya”

Masih dalam buku yang sama, pada halaman 301, Paul menambahkan:

“Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih daripada cukup”

Sementara Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis:

“Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, akan tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali”

Sumber artikel : Sejarah Aceh
Read More