Tragedi Idi Cut atau yang lebih dikenal dengan nama tragedi Arakundo adalah sebuah peristiwa pembantaian warga sipil yang terjadi pada tanggal 4 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh, Indonesia. Menurut sejumlah saksi mata, peristiwa yang dilancarkan tentara ABRI ini menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Para pelakunya sampai sekarang belum ditangkap dan diadili. Pembantaian ini diduga merupakan tindakan balas dendam ABRI atas penyisiran (sweeping) yang dilakukan sejumlah orang tak dikenal dan berujung pada pembunuhan beberapa personil ABRI di Lhok Nibong pada tanggal 29 Desember 1998. Jenazah mereka diceburkan ke sungai Arakundo. Klaim ini di perkuat oleh korban yang mendengar kata-kata para serdadu ABRI saat sedang membantai korban.
"Kalian bunuh kawan kami, kalian ceburkan mereka ke sungai, rasakan balasannya"
Warga Meyaksikan Proses Pencarian Korban di Jembatan Arakundo |
Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Nurussalam, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang dengan membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang saat itu sedang berada di sekitar lokasi persiapan acara. Meski diserobot, masyarakat kembali melanjutkan persiapan acara. Sebelum acara dimulai pukul 20.30 WIB, massa yang berjumlah sekitar 10.000 orang datang dari berbagai daerah sudah berkumpul sejak sore harinya membanjiri lapangan Simpang Kuala sampai ke pinggiran jalan nasional Medan-Banda Aceh.
Setelah acara selesai, keesokan harinya pukul 00.45 WIB, masyarakat pulang dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda motor dan menaiki mobil bak terbuka. Jalur kepulangan mereka melewati kantor koramil Idi Cut. Saat itu, massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh anggota koramil. Ada sejumlah laporan yang menyebutkan kerumunan massa awalnya dilempari batu dari arah markas koramil pukul 01.00 WIB, tembakan membabi buta dilepaskan dari arah markas koramil ke arah kerumunan. Beberapa truk aparat sudah bersiaga disana. Setelah gelombang tembakan pertama, terjadi lagi penembakan ke arah massa. Stelah banyak massa berjatuhan, seorang saksi mata mendengar anggota TNI mengatakan :
"Kamu yang membunuh tentara, habis semua, kamu potong leher, kamu campak ke sungai"
Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan kedalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka, tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi diselokan samping jalan.
Sekitar pukul 03.00 WIB, banyak sekali saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya, Batu besar diikatkan pada setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke sungai Arakundo.
Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan.
Tanggal 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih bertahan disekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Penembakan acak secara membabi butapun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai keesokan harinya penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil mengangkat enam karung berisi jenazah korban. jasad korban ketujuh yang ditembak mati ditemukan dalam kendaraannya. Puluhan warga sipil terluka akibat insiden ini. 13 orang dilaporkan hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.
Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena ditubuh mereka di ikat batu sebagai alat pemberat. Di pinggir jembatan juga ditemukan peluru dan proyektil bermerek pindad, produsen senjata api asal Bandung yang memasok persenjataan ABRI. Pihak ABRI dan penduduk setempat menyampaikan informasi berbeda seputar jimlah korban Tragedi Idi Cut. Masyarakat yang turun tangan dalam pencarian menemukan enam mayat dalam karung di sungai dan satu korban tembak di dekat tempat kejadian , sehingga total ada 7 korban tewas.
Menurut harian Wasapada tanggal 6 Februari, puluhan warga desa yang menyewa lima bus tidak diketahui keberadaannya dan bahkan ada satu bus yang hilang bersama supir dan para penumpangnnya. Klaim masyarakat tersebut dibantah oleh Kolonel Johnny Wahab yang menyebutnya sebagai "rumor tanpa dasar". Ia mengatakan jumlah korban tewas "2 mungkin 3 orang" dan 5.000 orang yang berkumpul di Idi Cut adalah simpatisan Gerakan Aceh Merdeka. Gubernur Aceh Syamsudin Mahmud menyebut tindakan ini "tidak berperikemanusiaan dan amat sangat mengejutkan". Katanya "orang-orang biasanya membuang sampah ke sungai, tapi kali ini mereka membuang mayat manusia."
Peristiwa Idi Cut adalah satu dari lima kasus yang disarankan Amnesty International untuk diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tinda Kekerasan di Aceh (KPTKA). meski Jaksa Agung sudah melaksanakan investigasi pada november 1999, sejauh ini belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindak kekerasan ini.
Tanggal 7 Februari 1999, Anwar Yusuf, seorang relawan FP HAM yang ikut menyelidiki peristiwa Idi Cut ditangkap dirumahnya oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Komando Rayon Militer kecamatan Idi Rayeuk. Ia diinterogasi oleh empat anggota ABRI seputar kunjungan nya ke sungai Arakundo dan dituduh sebagai anggota GAM. Saat menjalani interogasi di koramil, Yusuf megaku disiksa berulang-ulang, dipukul dengan balok kayu, sapu dan kursi, di sirami kpi panas, dipaksa jongkok di lantai sambil menjepit balok kayu dan di ancam akan ditembak. Sebelum ditahan di kepolisian pada 10 Februari 1999, ia sempat ditransfer ke Komando Distrik Militer Aceh Timur. Ia dilepaskan pada hari itu juga tanpa tuduhan apapun.
Media lokal sempat menyebut acara yang diselenggarakan warga Idi Cut adalah "Dakwah Aceh Merdeka". Pemberitaan ini menuai kecaman keras dari masyarakat karena memunculkan opini bahwa semua massa yang hadir pada acara tersebut adalah anggota GAM. Topik ceramahnya seputar sejarah perjuangan rakyat Aceh, tetapai panitia penyelenggara menyatakan acara tersebut tidak ada bedanya dengan tabligh akbar lain yang sering diadakan masyarakat Aceh.
EmoticonEmoticon