Siapakah pahlawan emansipasi Indonesia sesungguhnya?
Dialah Tjoet Njak Dhien. Setangguh-tangguhnya perempuan sekaligus pejuang Islam dan pejuang bangsa.
Nama Tjoet Njak Dhien memang tidak setenar Kartini yang sengaja di orbitkan Belanda untuk menutupi perjuangan hebat Tjoet Njak Dhien. Sosok Kartini yang humanis dan melankonis yang hidupnya hanya di isi dengan tulis menulis surat saja sengaja di orbitkan Penjajah Hindia Belanda sebagai pahlawan Wanita. Ini adalah bentuk pembodohan kolonialisme untuk menutupi perjuangan Tjoet Njak Dhien di Aceh, dengan begitu para wanita di masa itu akan lebih mengikuti tren Kartini yang humanis dan melankonis, pasrah pada nasib. Bukan seperti Tjoet Njak Dhien yang tidak mau harga dirinya dan tanah air terinjak-injak oleh kolonialisme.
Di akhir hidupnya ia buta dan di asingkan ke Sumedang, setelah 30 tahun lebih melawan penjajah tanah air dan agamanya dengan seluruh raga. Tapi bukan berarti perjuangannya luntur, beliau tetap berjuang dengan jiwanya.
Tjoet Njak Dhien adalah seorang penghafal Qur'an, ia menjadi guru mengaji bagi para ibu dan anak di sekitar kediamannya yang sebagian besar masih buta akan agama. Beliau syiarkan Islam, raganya boleh saja rapuh tetapi jiwanya perjuangannya tetap bergelora dan tak pernah padam.
Keterangan gambar:
- Foto sebelah kanan kita melihat sosok Tjoet Njak Dhien tertunduk menangis dan seperti kesakitan karena sebelum berfoto memang pihak penjajah Belanda memaksa dengan kekerasan supaya Tjoet melepaskan hijabnya.
- Foto sebelah kiri adalah istri dari Panglima Polim, yang selama ini di salah kaprahkan sebagai foto Tjoet Njak Dhien semasa muda.
Sore itu tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria Suriatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta, rabun serta menderita encok.
Seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria Suriatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya yang sangat buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung.
Sesekali mereka membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama disebut dengan Ibu Perbu.
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Battle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Njak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Njak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas bernama asli Tjoet Dhien.
Dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia yang merupakan keturunan perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Tjoet Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII. Suasana perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Njak Dhien tentu ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman meriam.
Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.
“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu masjid kita dibakar! tempat Ibadah kita dibinasakannya! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kafir Belanda! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata!” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Perang Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Njak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan berperang melawan Kaphe Beulanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870.
Dua tahun kemudian, Tjoet Njak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899. Tetapi bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, Teungku Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Njak Dhien, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.
Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiaran putri bangsawan itu hanya dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan membuat kebugarannya merosot. Kondisi pasukannya pun tak jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16 November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya, Tjoet Njak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan Tjoet memang tak bisa berbuat banyak.
Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) lalu dibuang Sumedang, Jawa Barat. Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berkoar menyamaratakan persamaan hak yang bernama, Emansipasi.
EmoticonEmoticon