Orang-orang tua di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot Jeumpa dan Leupeung. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai. Mereka dipaksa mengaku dirinya anggota DI/TII.
Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit militer ABRI menggiring anak-anak, pemuda dan orang tua ke pantai samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampoeng Cot Pulot dan Gampoeng Jeumpa Kecamatan leupeung Kabupaten Aceh Besar pada februari 1955.
Insiden yang meluluhlantahkan nilai-nilai kemanusiaan, diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot, mendekat ke jembatan Krueng Raba Leupeung. Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) tentara Republik Indonesia merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek-kakek yang ditemukan dijalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.
Penembakan pertama pada sabtu 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga tanggal 4 maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, Di Pulot Leupeung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantaian warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.
Korban Peristiwa
Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kira jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan dipinggir laut, lalu tanpa diperiksa seluruh pria itu ditembak hingga rebah bermandikan darah.
Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakaian seragam menembak mati 64 warga Leupeung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal. Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan pada tanggal 10 Maret 1955 memberikan penjelasan kejadian sebagai berikut :
"Sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhoong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong."
Ibarat menmbungkus bangkai, pasti tercium bau. pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja ini menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke tempat kejadian perkara. Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan, tugas jurnalistik ditunaikannya dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul "bandjir Darah di Tanah Rentjong". peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai Bren, 2 mobil, 2 jeep dan 2 truk. Tak ayal berita ini di kutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya, kemudia dikutip oleh media terbitan luar negeri seperti new York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.
Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang di rintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin Aceh diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.
Berhasilkah hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB ? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera utara seperti Lembaga, Tangkas dan Warta Berita menulis kasus yang dilaporkan oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. "Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional," tulis Zakaria M. Pasee di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.
Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutoeng Ateuh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami, Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.
Mesjid Al Ikhlas Leupeung |
Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Acha melalui koran Peristiwa ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukruan kecil dan diletakkan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.
1 komentar
P o k e r' V i t a Memberikan Bonus Promo Bonus TurnOver, di Permainan Poker Online, Domino Online, Capsa, Bandar Kiu-Kiu, Qiu-Qiu, Live Poker, di Agen Poker Online Terpercaya. Bonus Refferal 15%, Minimal Deposit 10rb!! Nikmati Berbagai Permainan Lainnya Seperti: Sabung Ayam Online Terbaik
HUBUNGI KAMI !!
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
FESTIFAL POKER 2019
BANDAR POKER TERPERCAYA
JUDI POKER ONLINE INDONESIA
EmoticonEmoticon